contact
Test Drive Blog
twitter
rss feed
blog entries
log in

Selasa, 29 Juni 2010


Pertanyaan:


Bagaimana hukum melihat video porno yang notabene adalah melihat benda (layar monitor/layar LCD) bukan melihat aurat secara langsung?

Jawaban:

Sebagaimana mengatur tatacara shalat, zakat, puasa, dan haji, demikian teliti dan cermat pula Islam mengatur segala aktivitas manusia lainnya, diantaranya adalah dalam hal pandangan.

Dengan jelas Islam telah mewajibkan kepada kaum mukmin laki-laki dan kaum mukmin perempuan untuk menjaga pandangannya dari hal-hal yang diharamkan oleh Syara’. Allah swt Berfirman, yang artinya:

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; … Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. ...” (TQS. Al-Nur [24]: 30-31)

Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan: “Ini adalah perintah dari Allah swt kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar menundukkan pandangan mereka dari apa-apa yang diharamkan atas mereka”.[1] Tidak ada perbedaan dalam hal ini bahwa yang diharamkan untuk dipandang adalah aurat. Berdasarkan riwayat berikut.

Dari Bahz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya berkata: Wahai Rasulullah saw, terhadap aurat-aurat kami, apa yang boleh kami lakukan dan apa yang harus kami hindari? Beliau saw berkata: “Jagalah auratmu kecuali atas istri dan budak perempuanmu.” (THR. Ahmad bin Hanbal)[2]

Dalam riwayat lain juga dikatakan:

Dari ‘Aisyah ra, Rasulullah saw bersabda: “… sesungguhnya wanita itu, jika sudah mencapai masa haidh, tidak boleh tampak darinya kecuali ini dan ini.” Beliau menunjuk muka dan dua telapak tangan. (THR. Abu Dawud dan Al-Baihaqi)[3]

Dengan demikian melihat aurat orang lain secara langsung adalah haram, kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu, misalkan dalam pengobatan, pembuktian, dan lain-lain, dengan catatan sebatas yang diperlukan saja.[4]

Demikian jika yang dilihat adalah aurat langsung. Namun jika yang dilihat bukan aurat secara langsung, melainkan gambar aurat dalam rekaman video yang ditampilkan melalui media layar monitor atau layar LCD misalnya, maka untuk bisa menghukuminya terlebih dahulu harus memahami hukum asal benda dan fakta benda yang akan dihukumi, serta kaitannya dengan melihat aurat yang sudah diketahui hukumnya atau hal-hal terkait lainnya.

Allah swt berfirman:

“Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi ...” (TQS. Al-Hajj [22]: 65)

Berdasarkan ayat di atas (dan ayat-ayat lain yang serupa dengannya) muncullah sebuah kaidah dalam ilmu Ushul Fiqh: al-ashl[u] fî al-asyyâ[i] al-ibâhat[u] hattâ yadulla ad-dalîl[u] ‘alâ tahrîmih[i] (hukum asal benda adalah mubah, hingga ada dalil yang mengharamkannya).[5] Layar monitor dan yang sejenisnya adalah mubah, karena dia termasuk benda dan tidak ada dalil yang mengharamkannya. maka bisa melihatnya, menyentuhnya, memilikinya, memperjual-belikannya dan lain sebagainya. Pertanyaannya: Apakah dengan demikian berarti melihat aurat itu boleh dengan cara melalui perantaraan media layar monitor atau sejenisnya dengan alasan bahwa layar monitor adalah benda yang mubah untuk dilihat, sebagaimana meja, sepatu, tas dll.?

Benar, dalam kasus melihat video porno seseorang tidak menyaksikan aurat secara langsung melainkan melihat benda yang mubah. Namun tidak boleh dilupakan bahwa setiap benda memiliki apa yang dinamakan dengan khâshiyyat (sifat-sifat khusus)[6], yang pada layar monitor adalah kemampuan dalam menampilkan atau memperlihatkan gambar sesuai dengan aslinya. Rekaman suatu objek pemandangan misalnya, bisa ditampilkan pada layar monitor atau sejenisnya dalam gambar yang sama dengan objek yang direkam. Sinar matahari, burung yang terbang, awan yang berjalan dll, sama persis dengan suasana saat rekaman tersebut diambil.

Maka melihat layar monitor dan sejenisnya yang menampilkan rekaman video tertentu serasa seperti melihat keadaan sebenarnya saat rekaman tersebut diambil. Sebagaimana pula cermin, dengan khâshiyyat-nya yaitu kemampuan memantulkan bayangan, jika diarahkan ke suatu objek tertentu, maka melihat benda berupa cermin tersebut serasa melihat objek sebenarnya yang dipantulkannya. Hanya saja, pada cermin pantulan terlihat terbalik sisi kanan dan kirinya dari objek aslinya.

Rasa seperti melihat keadaan sebenarnya juga bisa dibaca dari ekspresi orang yang melihat video pada layar monitor, misalkan perasaan marah dan sedih saat melihat rekaman video tentang pembantaian saudaranya di Palestina, perasaan takjub dan kagum saat melihat rekaman video tentan kecermatan Allah swt dalam menciptakan alam semesta, atau perasaan merangsang saat melihat rekaman video tentang adegan porno. Jika memang video dengan gambar di layar monitor tidak ber-khâshiyyat sebagaimana disebutkan di atas, kenapa hal itu bisa menimbulkan pengaruh yang berbeda-beda pada orang yang melihatnya?

Dari fakta khâshiyyat benda di atas, maka melihat adegan porno yang direkam dan dimunculkan di layar monitor memiliki keserupaan dengan melihatnya secara langsung. Dengan kata lain, benda tersebut (layar monitor) menjadi wasilah dalam menyampaikan pesan berupa gambar aurat yang serupa dengan aslinya.

Aurat adalah aib, dan mengetahui aib orang lain dengan sengaja adalah haram, dalam sebuah riwayat dinyatakan:

Dari Mu’awiyah ra. berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya jika engkau mengikuti aib-aib orang lain, maka aib-aib tersebut akan merusak mereka, atau engkau yang akan merusak mereka.” (THR. Ibn Hibban)[7]

Karenanya maka benda-benda tersebut menjadi wasilah bagi tersampaikannya aib orang lain, alias menjadi wasilah bagi terjadinya keharaman. Berlakulah atasnya kaidah: al-wasîlah ilâ al-harâm muharramah (hal yang mengantarkan kepada keharaman adalah haram)[8].

Keharaman di atas memang tidak bersifat muabbad (selamanya), melainkan bersifat muaqqat (sementara). Maksudnya, layar monitor hanya haram dilihat ketika menampilkan adegan porno, jika menampilkan selain yang diharamkan maka hukumnya sebagaimana awal yaitu mubah. Semata-mata karena dia bisa menjadi wasilah bagi keharaman, yaitu menyampaikan aib orang lain. Ini berlaku bagi seluruh mukallaf, baik laki-laki maupun perempuan, baik yang masih bujang maupun yang sudah berkeluarga.

Ada yang mengatakan melihat video porno dibolehkan bagi yang sudah berkeluarga/beristri karena ada tempat pelampiasan yang halal. Pendapat ini tidak dibenarkan berdasarkan beberapa alasan:

1. Berfantasi dengan melihat gambar aurat orang lain hukumnya haram. Terlebih membayangkan aurat orang lain saat menggauli istri.

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: “… maka zinanya kedua mata adalah melihat, zinanya kedua telinga adalah mendengarkan, zinanya lisan adalah membicarakan, zinanya tangan adalah menyentuh, zinanya kaki adalah melangkah, dan hati bernafsu dan berkhayal, dan kemaluan yang membenarkan atau mendustakan.” (THR. Muslim)[9]

Pengistilahan Rasulullah saw dengan zina untuk perbuatan-perbuatan yang bukan zina sebenarnya[10], menandakan keharaman sekalipun dosanya tidak sebesar dosa zina sebenarnya. Termasuk di dalamnya adalah khayalan/fantasi porno yang dihasilkan dari melihat, mendengar, membicarakan, dan menyentuh hal-hal yang berbau porno atau wasilah lain yang mengantarkan kepadanya. Juga menurut para ulama, berfantasi dengan aurat orang lain saat menggauli istri adalah haram[11].

Adapun riwayat oleh Imam Muslim dari Jabir bin Abdillah ra: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian terpesona oleh seorang wanita, dan merasuk di hatinya, maka hendaknya ia mendatangi istrinya dan menggaulinya, karena yang demikian itu bisa menghilangkan apa yang terbesit dalam hatinya (tadi)”[12], tidak dimaksudkan agar si laki-laki menggauli sang istri sambil membayangkan wanita yang dijumpainya, karena dipungkasan hadits tersebut dikatakan “karena yang demikian itu bisa menghilangkan apa yang terbesit dalam hatinya”, atau diriwayat At-Tirmidzi dikatakan “karena yang ada pada dirinya (wanita yang dijumpai) seperti apa yang ada pada dirinya (istrinya).”[13] menandakan persetubuhan dengan istri berfungsi untuk mengalihkan perhatian/pikiran si laki-laki dari wanita yang menjadikannya terpesona agar tidak larut dalam fantasi yang diharamkan, tentu itu tidak dilakukan dengan membayangkannya saat berhubungan badan dengan sang istri.

2. Haramnya menceritakan adegan ranjang suami-istri kepada orang lain (baik berupa cerita, tulisan, rekaman suara, atau rekaman video),

Dari Abu Sa’id Al-Khudri, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya manusia yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat ialah seseorang yang menyetubuhi istrinya dan istri bersetubuh dengan suaminya, kemudian suami menyebarkan rahasia istrinya.” (THR. Muslim)[14]

Maka haram pula mencari tahu tentangnya. Dengan sengaja melihat video porno, berarti sengaja mencari tahu adegan ranjang orang lain dengan pasangannya. Terlebih jika yang dilihat adalah adegan porno berupa perzinahan (pemerannya bukan suami-istri) –kebanyakan memang demikian–, maka mengambil manfaat darinya tergolong menyetujui atau ridha terhadap perilaku tersebut. Kecuali untuk persaksian, itupun sebatas yang diperlukan, tidak untuk taladzdzudz (dinikmati).

Kesimpulannya, melihat video porno adalah haram karena diduga kuat akan mengantarkan kepada keharaman, yaitu berupa mengetahui aib orang lain, khayalan mesum, mengetahui persetubuhan orang lain, dimana pasangan halal suami-istri saja tidak boleh menceritakannya. Wallâhu A’lam wa Ahkam. (Diasuh Oleh Ustad Muda Azizi)

[1] Ibn Katsir, Tafsîr Al-Qu’ân Al-‘Azhîm, vol VI, hlm 41

[2] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, vol V, hlm 4. Syu’aib Al-Arna’uth: sanadnya Hasan

[3] Abu Dawud, Sunan Abu Dâwud, vol XI, hlm 145. Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubrâ, vol II, hlm 226. Hadits Mursal. Imam Taqyuddin An-Nabhani berkata: Hadits Mursal adalah Hujjah, bisa digunakan untuk berargumentasi. (Lihat Asy-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah, vol I, Bab Hadits Mursal)

[4] Lihat An-Nabhani, An-Nizhâm Al-Ijtima’î, bab An-Nazhr Ilâ Al-Mar’ah (melihat perempuan).

[5] Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Asybâh wa An-Nazhâir, vol I, hlm 60. Juga An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islâmiyyah, vol III, hlm 18. Bab Lâ hukm qabl wurûd asy-syar’ (tidak ada hukum sebelum ada ketetapan syara’)

[6] Lihat An-Nabhani, Nizhâm Al-Islâm, hlm 17.

[7] Muhammad Ibn Hibban, Shahîh Ibn Hibbân, vol XIII, hlm 73. Menurut ‘Alauddin Al-Farisi, isnadnya sahih, rijalnya tsiqat.

[8] Imam Asy-Syaukani mengatakan: “apa-apa yang secara pasti mengantarkan kepada keharaman, maka dia haram bagi kami dan bagi mereka, yaitu bagi pengikut Imam Syafi’I dan pengikut Imam Maliki rahimahumallah.” Lihat Irsyâd Al-Fuhûl Ilâ tahqîq Al-Haqq Min ‘Ilm Al-Ushûl, vol II, hlm 196. Imam An-Nabhani menyepakati dengan sedikit perbedaan, beliau berkata: “Hal-hal yang mengantarkan kepada keharaman adalah haram jika secara dugaan kuat akan mengantarkan kepada keharaman. Jika hanya dikhawatirkan maka tidak sampai haram.” Lihat Nizhâm Al-Islâm, hlm 92. Dalam perkara syari’at, ghalabatuzhzhann (dugaan kuat) bisa diberlakukan, tidak harus qath’i (pasti) sebagaimana dalam perkara akidah. Semoga yang dimaksud Imam Asy-Syaukani adalah ghalabatuzhzhann, karena berupa prediksi terhadap hal yang belum terjadi.

[9]Shahîh Muslim, hadits nomor 4801.

[10] Zina sebenarnya atau zina dalam arti istilah adalah: menggauli wanita dari qubulnya (kemaluannya) tanpa disertai kepemilikan/hak dan ketidakjelasan. (Rawwas Qal’ahjie, Mu’jam Lughah Al-Fuqahâ, hlm 280. Keyword: az-zinâ)

[11] Imam Al-‘Iraqi berkata: “Jika seorang laki-laki menyetubuhi istrinya, sementara dia membayangkan persetubuhan dengan wanita lain yang diharamkan baginya dan beranggapan seolah-olah dia bersetubuh dengan wanita tersebut, maka yang demikian itu adalah haram baginya.” (Al-‘Iraqi, Tharh At-Tatsrîb, vol I, hlm 390)

[12] Lihat Shahîh Muslim, hadits nomor 2492.

[13] Lihat Sunan At-Tirmidzi, vol IV, hlm 384. Nomor hadits 1078.

[14] Shahîh Muslim, hadits nomor 2597.
SUmber (dakwahkampus.com)

0
Selasa, 15 Juni 2010

Guru marketing Hermawan Kartajaya sudah beberapa lama bergaul dengan praktisi keuangan syariah. Ia mulai fasih mengatakan ajaran Islam sebagai rahmatan lil alamin. Beragama Katolik, Hermawan malah berniat ikut dalam mengembangkan nilai marketing Islami. Berikut petikan wawancara sesaat setelah peluncuran buku Sharia Marketing di Jakarta pekan lalu.

Sebetulnya apa beda marketing syariah dan konvensional?

Dalam dunia marketing itu ada istilah kelirumologi. Itu lho sembilan prinsip yang disalah artikan. Misalnya marketing diartikan untuk membujuk orang belanja sebanyak-banyaknya. Atau marketing yang yang pada akhirnya membuat kemasan sebaik-baiknya padahal produknya tidak bagus. Atau membujuk dengan segala cara agar orang mau bergabung dan belanja. Itu salah satu kelirumologi ( merujuk istilah yang dipopulerkan Jaya Suprana). Marketing syariah itu mengajarkan orang untuk jujur pada konsumen atau orang lain. Nilai syariah mencegah orang (marketer) terperosok pada kelirumologi itu tadi. Ada nilai-nilai yang harus dijunjung oleh seorang pemasar.
Apalagi jika ia Muslim.





Apakah nilai marketing syariah bisa diterapkan umat lain?

Lha ya nilai Islam itu universal. Rahmatan lil alamin. Begitu kan istilahnya. Nabi Muhammad itu menyebarkan ajaran Islam pasti bukan hanya untuk umat Islam saja. Jadi tidak apa-apa jika nilai marketing syariah ini inisiatif orang Islam supaya bisa menginspirasikan orang lain. Makin banyak non-Muslim yang ikut menerapkan nilai ini, makin bagus. Saya ikut mengendorse marketing syariah. Soal jujur itu kan universal. Jadi marketing syariah harus diketahui orang lain dalam rangka rahmatan lil alamin itu.



Apa nilai inti marketing syariah?

Integrity atau tak boleh bohong. Transparansi. Orang kan tak boleh bohong. Jadi orang membeli karena butuh dan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan, bukan karena diskonnya. Itu jika konsep marketing dijalankan secara benar.


Bagaimana muasal perkembangan nilai spiritual dalam marketing?

Sejalan dengan perkembangan dunia. Setelah September attack, orang melihat IQ dan EQ saja tidak cukup. Harus ada SQ, spiritual quotient. Orang melihat.


Apakah nilai marketing syariah ini akan bertahan?

Ya pasti sustain. Karena prinsip dasarnya kejujuran. Ini yang dibutuhkan semua orang. Apalagi setelah kasus seperti Enron, Worldcom dan lainnya. Orang melihat
bisnis itu harus jujur.


Lalu di mana peran ilmu marketing dalam konsep syariah?

Syariah mengendorse marketing dan marketing mengendorse syariah. Ilmu marketing menyumbangkan profesionalitas dalam syariah. Karena jika orang
marketing tidak profesional, orang tetap tidak percaya. Lihat saja bagaimana investor Timur Tengah belum mau investasi di Indonesia, meski negara ini populasinya mayoritas Muslim. Karena mereka tidak yakin dengan profesionalitas kita. Jadi, jujur saja tidak cukup.


Bukankan nilai kejujuran dan transparansi itu diajarkan semua agama?

Ya. Memang semua agama mengajarkan nilai itu. Tapi jangan lupa bahwa islam itu rahmatan lil alamin. Jadi, ada titik singgung. Bukankah lebih baik mencari yang serupa dari pada memperkarakan yang berbeda. Jika begitu hidup kita damai. Menurut saya, tak mengapa kita sebut marketing syariah. Karena mayoritas populasi di Indonesia itu Muslim. Jadi nilai syariah yang kita kedepankan. Kita mulai di sini, di Indonesia. Ada bagusnya jika yang mengendorse itu orang Islam, bukan yang lain.


Setelah nilai spiritual konsep apa lagi yang akan mengemuka dalam dunia bisnis?

Millenium. Orang mencari keseimbangan. Maksudnya orang berbisnis itu harus menjaga kelangsungan alam, tidak merusak lingkungan. Berbisnis juga ditujukan untuk menolong manusia yang miskin dan bukan menghasilkan keuntungan untuk segelintir orang saja. Nilai-nilai ini ke depan akan mengemuka. Sekarang pertemuan para praktisi marketing mulai mengarah ke sana.


Setelah mengenal Islam, apa pendapat Anda tentang nilai yang diajarkan?

Islam agama yang universal dan komprehensif. Guidance-nya lengkap. Ada petunjuk untuk seorang pedagang, kepala negara, seorang anak, panglima perang
dan semuanya. Ada diatur secara lengkap. Di atas semua itu saya melihat Islam itu ajaran yang damai dan indah. Ajaran Islam bisa dipakai semua orang. Itu kesan saya dan mengapa saya mau mempelajari nilai Islam untuk dikembangkan dalam konsep marketing. Saya sekarang menjadi aktivis lingkungan dan nilai-nilai.

Sumber Republika

0



0

Krisis kepemimpinan Gerakan Dakwah sangat terasa. Krisis tersebut bukan karena Gerakan Dakwah gagal melahirkan para pemimpin besar sebagaimana para pendirinya, akan tetapi yang terjadi adalah sistem tarbiyah (kaderisasi) dan mekanisme kepemimpinan yang macet dan tidak memilkiki standar/ukuran yang jelas sehingga mempengaruhi kinerja Gerakan Dakwah itu sendiri. Bahkan lebih parah lagi, kepemimpinan terkesan diktator sehingga tidak ada peluang berbeda pendapat, atau merubah keputusan yang telah diputuskan oleh pemimpin atau elitenya kendati bertentangdan dengan nilai-nial Islam.

Semua harus tunduk atas segala keputusan jamaah/organisasi, termasuk masalah-masalah kecil dan huquq syakhshiyyah (hak pribadi) seseorang. Anggota jamaah yang kritis dan berfikir besar, selalu dihadapkan kepada : taat atau tinggalkan jamaah / Gerakan Dakwah ini. Atau paling tidak dikucilkan dan diisukan dengan berbagai isu yang tidak berdasar. Akhirnya isu-isu itulah yang memenuhi pikiran dan hati mereka yang seharusnya diisi dengan iman, ilmu pengetahuan, kasih sayang dan saling menghormati. Dialog, diskusi, tabayyun (konfirmasi) seakan diharamkan dan jarang sekali dilaksanakan. Sebaliknya, setiap momentum atau setiap pertemuan selalu diberikan taujihat (arahan) terkait taat, tsiqah, husnizh-zhan dan sebagainya. Padahal dialog dan tabayyun itu merupakan bagian dari ajaran Islam yang utama, sebagaimana yang dicontohkan dalam kehidupan dan kepemimpininan Nabi Muhammada Saw dan para Sahabatnya.

Nyaris semua Gerakan Dakwah hari ini memiliki keyakinan (paling tidak dalam prakteknya), bahwa para pemimpinlah yang berhak membahas semua masalah. Semua keputusan harus ditaati oleh semua kadernya. Kalau tidak, mereka akan diancam untuk dikeluarkan dari Gerakan Dakwah.

Itulah fakta kepemimpinan Gerakan Dakwah masa kini. Lalu, bagaimana dengan pemimpin-pemimpin besar umat yang lahir sepanjang sejarah? Bagaimana mereka lahir? Apakah ada peran Gerakana Dakwah dalam kemunculan mereka? Sekitar 1987, terjadi diskusi serius antara mahasiswa dengan seorang tokoh besar dakwah DR. Ahmad Al-Assal seputar krisis kepemimpinan Gerakan Dakwah. Beliau ketika itu menjabat Vice President Internationla Islamic University, Islambad.

Dalam diskusi yang memakan waktu lebih dari tiga jam itu, kami mendapat kesimpulan, bahwa terkait pemimpin besar, katakanlah seperti, Khulafaurrasyidin, Umar bin Abdul Aziz, Sholahuddin Al-Ayubi, Muhammada Al-Fateh, Hasan Al-banna, Abul A’la Al-Maududi dan seterusnya, kelihatannya merupakan hak perogratif Allah. Mereka tidak lahir dari rekayasa manusia. Sehebat apapun tokoh atau organisasi dakwah, belum pernah melahirkan pemimpin besar, minimal sebesar mereka.

Artinya, para pemimpin besar umat (al-Imam al-A”zhom dan apapun istilahnya) sepanjang masa, termasuk diangkat-Nya para Nabi, termasuk Nabi Muhammad Saw dari keturunan siapa, dari suku apa, di wilayah mana dan kapan waktunya merupakan hak dan rahasia Allah. Hal tersebut di dasari oleh fakta sejarah yang disinyalir pula oleh Allah dalam Al-Qur’an surat Al-An’am (6) : 124

“…Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan-Nya….”

Sejarah juga membuktikan, kaum Bani Israel misalanya. Mereka tidak pernah menduga, apalagi mengetahu nabi terakhir diutus dari suku Quraisy pada abad ke 6 masehi. kendati sudah dijelaskan dalam Kitab Taurat dan Injil bahwa akan lahir seorang nabi bernama Ahmad. Demikian pula yang menaklukkan Palestina pertama kali adalah Khalifah Umar Ibnul Khattab, yang membesakannya dari pendudukan Salibis adalah Sholahuddin Al-Ayubi dari bangsa Kurdistan (selatan Irak). Begitu pula dengan pemimpin besar Islam yang di tangannya terealisasikan prediksi Nabi Saw tentang penaklukkan Istambul (Konstantinopel) sekitar enam abad setelah Beliau bersabda, yakni melalui seorang pemimpin Islam muda bernama Muhammad Al-fatih.

Kalau demikian halnya, apakah kita harus menunggu lahirnya pemimpin besar itu, baru kepemimpinan Gerakan Dakwah berjalan dengan baik dan sempurna? Jawabannya tentulan tidak. Karena Islam mewajibkan dan mencintai profesionalisme dan keteraturan. Sebab itu, saatnya merumuskan pola atau format kepemimpinan Gerakan Dakwah agar sesuai dengan fungsi kepemimpinan itu sendiri, yakni menyayangi, mengajarkan ilmu, mentransfer/menularkan ruh imaniyah (spirit keimanan), memberikan keteladanan dan menegakkan kedisiplinan termasuk terhadap diri, keluarga dan elite mereka sendiri.
Yang amat dirasakan adalah dominasi pemimpin yang berlebihan terhadap arah perjalanan jama’ah atau organisasi dakwah sehingga menyebablan dakwah terseok-seoak dan terkadang menyimpang dari jalan yang benar di tengah ancaman dan sekaligus peluang yang sangat besar. Di antara penyebabnya ialah tidak ada keseimbangan antara tarbiyah jundiyah (kaderisasi keprajuritan) dengan tarbiyah qiyadiyyah (kaderisasi kepemimpinan) . Akibatnya, semuanya hanya siap menjadi junidiyyun muthi’ (prajurit yang taat), tanpa diiringi dengan pembangunan sifat kritis, kepemimpinan dan rasa tanggung jawab. Gerakan Dakwah hari ini membutuhkan al-Qo-id al-Hazim (Smart Leader), yakni pemimpin yang cerdas, cermat dan teliti serta kokoh dalam memegang prinsip.

Sesungguhnya posisi pemimpin bagi sebuah organisasi atau jama’ah itu bagaikan otak manusia bagi semua anggota tubuhnya. Bilamana otak tersebut mengalami ganguan, seperti gangguan yang diakibatkan pembulu darah disekitarnya pecah, maka otak akan mengalami guncangan hebat yang berakibat sebagian atau semua anggota tubuh akan mengalami kelumpuhan, atau ap yang dinamakan ilmu kedokteran dengan strook. Strook itu bisa mengakibatkan sipenderitanya lumpuh secara parsial dan bisa juga total, tergantung tinkatan strooknya. Jika yang terganggu itu adalah saraf otak yang terkait dengan fungsi menjaga kestabilan anggota tubuh manusia, maka anggota tubuh tertkait akan mengalami gangguan atau koslet. Akibatnya, ia tidak berfungsi secara baik. Demikian juga dengan kepemimpinan dalam sebuah organisasi, tak terkecuali organisasi Gerakan Dakwah sekalipun, karena para pemimpinnya bukanlan para Nabi dan Rasul yang ma’shum (terpelihara) dari berbagai gangguan dan ancaman penyakit kepemimpinan.

Untuk lebih jelas gambaran krisis kepemimpin yang sedang dialami oleh Gerakan Dakwah masa kini, alangkan baikanya kita memaparkan model-model kepemimpinan buruk yang lazim terjadi dalam sebuah organisai keagamaan, bahkan jauh sebelum diutusnya Muhammad Saw sebagai Rasul.

Karena, sejarah telah membuktikan, bahwa organisasi keagamaan, apapun bentuknya (seperti Jama’ah, Gerakan Dakwah, Partai Politik, Negara yang berdasarkan agama dan sebagainya) cendrung high risk (beresiko tinggi) terhadap penyimpangan karena memiliki legitimasi agama atau wahyu, yang bermuara dari kekeliruan memahami wahyu dan tidak istiqomah (konsisten) atas arahan wahyu. Pada waktu yang sama, organisasi keagamaan juga memiliki big opportunity (kesempatan besar) dalam melakukan perubahan dan perbaikan masyarakat dan pemerintahan karena nilai-nilai yang diusung memiliki keunggulan dan kekuatan yang luar biasa . Hal tersebut akan terjadi bila Gerakan Dakwah memiliki persyaratan-persyaratan utama seperti, berjalan pada jalur yang benar; yakni sesuai dengan ajaran Islam itu sendiri, bukan dilandasi penafsiran-penafsiran yang terkesan dipaksakan, memiliki organisasi yang solid, pemimpin yang bermutu (Smart Leader) dan sebagainya. Jika tidak, Gerakan Dakwah hanya akan menambah problematika umat yang sedang menumpuk seperti sekarang ini. Semboyan-semoboyan yang mentereng seperti, kemajuan dan kejayaan umat, penyebaran rahmat bagi alam semesta, bersih, peduli, profesional atau Ustadziyatyul ‘Alam (Guru Global), hanya bagaikan fatamorgana atau mimpi di siang bolong.

Agar menambah ketajaman pemahaman kita tertang kepemimpinan dalam Islam, maka perlu pemaparan model-model kepemimpinan yang muncul dalam organisasi keagamaan. Melalui pemaparan mopdel-model tersebut, kita juga akan menyadari dan mengakui bahwa krisis kepemimpinan itu benar-benar sedang terjadi dalam Gerakan Dakwah kita. Jika sudah diketahui dengan pasti dan cermat, kita wajib berupaya maksimal untuk mencarikan jalan keluarnya agar Gerakan Dakwah tidak mengalami kelumpuhan, pembusukan atau bergerak tanpa dhawabith syar’yyah (pakem-pakem syar’i) yang sudah baku.

Kalau kita cermati dengan baik, paling tidak ada tiga model kepemimpinan yang berkembang dalam Gerakan Dakwah saat ini:

1. Kepemimpinan Wayangisme. Adapun cirri-cirinya :

a. Dualisme kepemimpinan atau dengan kata lain, terdapat pemimpin formal dan inforlmal disebabkan berbagai alasan, di antaranya, pemahaman yang meyakini masih dalam periode Dakwah Sirriyyah (Dakwah Tersembunyi). Kalau kita lihat sejarah dakwah Rasul Saw, marhalah sirryah (periode rahasia) itu sekitar tiga tahun saja. Setelah itu, Allah perintahkan dakwah jahriyah (terang-terangan). Nabi Muhammada Saw. siap menghadapi berbagai tantangan yang mengahdang Dakwah dan bahkan pengusiran dari negerinya serta upaya pembunuhan terhadap Beliau.

b. Biasanya pemimpin informal lebih berkuasa sehingga pemimpin formal hanya sebagai boneka yang dapat dikendalikan ke mana arah dan tujuan yang dikehendakinya. Akibatnya, masyarakat menjadi bingung dan sulit memahami arah perjalanan Gerakan Dakwah yang sebenarnya. Musuh-musush dakwah semakin mudah menuduh Gerakan Dakwah tersebiut dengan berbagai tuduhan negative seperti, liar, sempalan, berbahaya, ancaman keamanan dan sebagainya. Mereka menyebutya dengan OTB (Organisasi Tanp Bentuk).

2. Masyayekh (Tradisionalisme Dibungkus Agama). Ciri-cirinya adalah :

a. Sentralistik kekuasaan.
b. Sentralistik keputusan dan pendapat
c. Sentralistik keuangan.
d. Sentralistik keilmuan dan pengalaman.
e. Sentralistik penghormatan dan wibawa
f. Di mata orang-orang terdekatnya (kelopmpok elitenya) atau di hadapan sebagian besar anggota jam’ahnya, sang pemimpin bagaikan Nabi, atau Wali, Dewa dan bahkan ada yang menganggapnya bagaikan Malaikat yang tidak pernah salah dan tidak memiliki kelemahan, atau diyakini sangat suci. Semua ucapan dan pendapatnya dianggab bagaikan sabda atau firman.

g. Untouchable (tidak bisa tersentuh) baik oleh peraturan, kritik maupun nasehat, karena dia yang mengendalikan peraturan.
h. Selalu mentaujih (mengarahkan) kendati keluar dari sistem dan konteks aturan main yang sudah ditetapkan.
i. Tidak mau membangun suasana dialogis dan menghindar dari dialog.
j. Selalu menghina atau mengecilkan kelompok atau tokoh lain di luar jama’ah dan kelompoknya, termasuk anggota Jama’ah yang yang dianggapnya bermasalah karena krtis terhadap keputusan-keputusannya.

k. Jarang yang berani memberikan nasehat kepadanya. Kalau ada yang berani mengkritik dan memberikan nasehat kepadanya, pasti dia carikan jalan untuk mengucilkannya, bahakn dicoret (ditip-ex, meminjam istilah salah seorang teman) dari keanggotaan jama’ahnya.
l. Selalu berfikiran negatif (negative thinking) terhadap jama’ah atau tokoh lain di luar jama’ahnya dan juga terhadap anggota jamaahnya yang kreatif, berfikir besar dan jauh ke depan yang memilki ‘uqul al-kabiroh.- meminjam istilah Yusuf Al-Qordhowi -.
m. Yang menentukan segalanya adalah keinginan pribadinya, kendati dengan mengatasnamakan lembaga, seperti jama’ah, dakwh, partai dan lain sebagainya serta dengan memanfaatkan keikhlasan mayoritas anggota jama’ahnya dan hawa nafsu duniawi segelintir elite di sekitarnya.
n. Biasanya punya hasrat memimpin untuk puluhan tahun atau sampai mati, tanpa menyadari bahwa berlama-lama dalam kepemimpinan itu cenderung menggirngnya menjadi korup, menyimpang, khususnya saat sistem dan mekanisme organisasi tidak berfungsi alias mandeg atau dimandegkan.

3. Ahbarisme dan Ruhbanisme. Adapun cirri-cirinya :

a. Memanipulasi agama untuk kepentingan pribadi dan atau kelompok yang bersifat duniawi. Kalau dalam sejarah Kristen terkenal dengan istilah “penerbitan surat pengampunan dosa”. Kalau dalam sejarah umat Islam, terkenal dengan istilah “nyari berkah, takut kualat”. Bahkan ada anggota Jama’ahnya menyerahkan anak gadisnya untuk dinikahi sang pemimpin hanya sekedar mencari “berkah”, kendati anaknya masih ingusan.

b. Menumpuk kekayaan dari aktivitas dakwah (keagamaan), baik sosial maupun politik dengan alasan kepentingan agama/dakwah. (Q.S. Attaubah / 9 : 34)
c. Memaksakan teks agama (Al-Qur-an dan As-Sunnah) dan peristiwa sejarah kepada semua konteks kehidupan yang sedang dihadapi, kendati tentang masalah-masalah teknis duniawi yang dibolehkan bahakan dianjurkan Islam untuk ijtihad atau menggunakan akal. Atau senbaliknya, memaksakan teks agama untuk melegalkan kekeliruan dan kesalahan yang mereka lakukan demi mengejar keuntungan dunia yang tak seberapa. Gaya kepemimpinan seperti ini terkesan ada unsur “legalisasi” tindakan yang secara badihiyyat (aksiomatiak Islam) melanggar aturan agama itu sendir.

d. Ucapan dan perbuatannya bernilai Sabda, harus ditaati dan tidak ada peluang mengkritisi apalagi mengoreksi dan mengakuinya sebagai kesalahan. Kalapun di hadapan pengkriytiknya ia bermuka manis, namun di belakangnnya, ia akan mencari-cari cara untuk menyingkirkannya.
e. Mengambinghitamkan kepentingan agama dan dakwah untuk mendapatkan uang atau dana tanpa peduli haram atau syubhat. Fatwa atau pendapat tentang uang dan harta selalu berubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang terbuka.

Model-model kepemimpinan tersebut adalah model kepemimpinan negatif yang wajib dijauhi dan dihindarkan oleh Gerakan Dakwah, apalagi jika sampai terdapat kombinasi dua atau lebih dari tiga model kepemimpinan tersebut, tentulah akan membawa mala petaka besar terhadap Gerakan Dakwah, cepat atau lambat.

Timbul pertanyaan mendasar, apa gerangan yang menyebabkan model-model kepemimpinan tersbut mucul dan terkadang subur? Padahal mereka juga orang yang paham Islam dengan baik dan memahami ancaman neraka.

Menurut hemat penulis, paling tidak ada tiga belas (13) faktor :

1. Ketaatan anggota jama’ah atau partai atau organisasi yang berlebihan pada pemimpin mereka, sehingga tidak lagi mengikuti arahan Allah dan Rasulnya.
2. Kekaguman dan penghormatan yang berlebihan pada pemimpin.
3. Harapan pada pemimpin yang berlebihan.
4. Mencintai pemimpin secar berlebihan
5. Suburnya mentalitas imma’ah (pak turut / yes-man) dalam kehidupan berjama’ah, berorganisai atau berpartai dan besarnya nafsu kepentingan duniawi yang diharapkan dari aktivitas dakwah.

6. Tidak dibangunnya suasana kritis dan dialogis dalam kehidupan berjama’ah, berorganisasi atau berpartai, khususnya kritis terhadap pemimpin sebagaimana para Sahabat Rasulullah terhadap Rasul Saw. Padahal sholat berjama’ah yang dilakukan lima kali dalam sehari semalam mengajarkan kritis terhadap sang imam; ada yang ditegur atau diingatkan. Namun jika ia melakukan sesutau yang menyeabkam shpolatnya batal, maka ia harus digantikan keimamannya saat itu juga.

Persoalan ini dalam Islam adalah hal yang biasa-biasa saja, tidak perlu menggemparkan karena Islam itu sesuai dengan fitrah dan karakter manusia yang lemah. Peristiwa ini akan dilihat sebagai peristiwa “kiamat” hanya oleh orang-orang yang dimabuk kedudukan dan kekuasaan.

7. Kurang memahami mana dan kedudukan Wahyu dan Sunnah Rasul serta mana yang ijtihad sang pemimpin. Semuanya dianggap sama kedudukannya.
8. Terikat kepentingan duniawi terhadap pemimpin dan dakwah.

9. Tidak dibangunnya tradisi keilmuan dalam kehidupan berjama’ah, berorganisasi atau berpartai sehingga lahir secara alamiyah masyarakat umyyin (tidak memahami Islam kecuali hanya sebatas presepsi yang dibangun pemimpinnya). Mereka, sengaja atau tidak, dijauhkan dari refernsi utama Islam, yakni Al-Qur’an, Hadits Rasul Saw, kehidupan para Sahabat dan buku-buku ulama stnadar lainnya. Dengan demikian, akan memudahkan sang pemimpin tersebut mengendalikan anggota jama’ah, organisasi dan partainya.

10. Lemahnya keilmuan dan mental yang mempelajari Syari’ah (Islam) secara akademis dalam mengatakan dan menegakkan hak dan kebenaran serta mencegah kemungkaran dalam lingkungan jama’ah atau internal karena suburnya mental ewuh pakewuh, khususnya terhadap para pemimpinnya. Anehnya, terhadap lingkungan luar jama’ahnya terkesan tegas dan berani menyatakan hak dan kebenaran, terkadang keluar pula dari kontek dak yang diajarkan Islam.

11. Lumpuhnya Lembaga-Lembaga Tinggi Jama’ah seperti Majlis Syuro, Dewan Pengawas Syariah dan sebagainya sehingga mengakibatkan macetnya sistem dan mekanisme tanzhim (organoisasi). Akhirnya lemabaga-lembaga tersebut tidak dapat berfungsi secara maksimal. Bahkan dalam banyak hal, lembaga-lembaga tingi tersebut tidak lebih dari tukang stempel keinginan para pemimpinnya.

12. Sistem kaderisasi Junndiyyah yang keliru dengan menitik beratkan kepada ketaatan pada jama’ah dan qiyadah (pemimpin), bukan kepada kepahaman dan kecerdasan akal dan spritual serta kejujuran moral yang dilandasi iman pada Allah dan akhirat.

13. Sistem kaderisasi qiyadiyyah yang diabaikan, baik sengaja maupun tidak. Mungkin karena mnganut falsafah tidak boleh ada dua mata hari.

The Mind Of www.eramuslim.com

Mengenai Saya

Foto saya
Orang yang selalu komitmen, orang yang sering lupa akan pasword Blognya sendiri,

Followers

Cbox


ShoutMix chat widget